Advertisement

Cerpen Ayah: Sarapan Sabtu Bersama Ayah

Sarapan Sabtu Bersama Ayah

Contoh Cerpen Tentang Ayah
Sarapan Sabtu Bersama Ayah

Kategori: Cerpen Ayah
Cerpen Karangan: Lisa Kurniawan

Pagi itu, sinar matahari menyapu lembut ruangan dapur Alex. Bau harum kopi dan suara sizzle dari panci membuat atmosfer pagi semakin ajaib. Alex, seorang ayah paruh baya dengan senyum hangat, sibuk menyusun piring-piring kecil dengan berbagai macam makanan lezat.

Lily, putrinya yang ceria, muncul dengan langkah-langkah ringan. Rambut cokelatnya yang ikal sedikit basah, menunjukkan dia baru saja mandi. "Pagi, Ayah," sapanya, sambil memeluk Alex dari belakang.

"Pagi, Lily," jawab Alex sambil mencium puncak kepala putrinya. "Sarapan apa yang kamu mau hari ini?"

Mereka bekerja sama meracik sarapan. Lily memotong buah-buahan segar, sementara Alex memasak omelet dengan keahlian khasnya. Mereka berbicara tentang hal-hal sepele dan serius, tertawa, dan saling melirik, menciptakan kehangatan yang melekat di setiap momen.

Sambil menyantap sarapan, Lily berkata, "Ayah, aku suka sabtu-sabtu seperti ini."

Alex tersenyum dan mengangguk. "Aku juga, Nak. Sabtu adalah hari kita."

Mereka menyelesaikan sarapan, membersihkan meja bersama-sama, dan duduk di ruang tamu. Pada momen-momen seperti ini, kebersamaan mereka menciptakan jembatan tak terlihat yang menghubungkan dua hati.

***

Beberapa bulan berlalu, dan kehidupan Lily mulai berubah. Jadwalnya yang dipenuhi tugas dan kegiatan sekolah menguras waktunya. Pagi-pagi Sabtu yang dulunya penuh tawa dan ceria, sekarang menjadi saat-saat sunyi.

Alex mencoba untuk memahami perubahan ini. Dia mencoba menyelipkan pertanyaan-pertanyaan ringan saat sarapan, tapi jawaban Lily selalu singkat. Hari Sabtu bukan lagi hari yang dilalui dengan percakapan yang gembira.

Suatu pagi, Alex duduk di meja makan, menatap piring kosong di depannya. "Nak, apakah semuanya baik-baik saja?" tanyanya dengan nada lembut.

Lily menatap ayahnya sejenak sebelum menjawab, "Aku sibuk, Ayah. Banyak hal yang harus dilakukan."

Rasa cemas menghantui hati Alex, tapi dia mencoba menyembunyikannya. "Kamu tahu, Lily, kita selalu bisa menemukan waktu untuk satu sama lain, bukan?"

Lily mengangguk, tapi ekspresinya mengisyaratkan keragu-raguan. Drama mulai merajut benang-benangnya di antara mereka, membentuk kebekuan yang tak diinginkan.

***

Pagi Sabtu berikutnya, Lily kembali absen. Kali ini, alasan yang diutarakan lebih kompleks. Alex merasa kehilangan. Sarapan yang biasanya diisi dengan cerita dan tawa, kali ini diisi oleh keheningan yang menggantung di udara.

Mereka berdua duduk di meja, penuh keheningan. Alex mencoba untuk mencairkan suasana. "Bagaimana sekolah, Nak? Apa yang terjadi hari ini?"

Lily melirik ponselnya dan menjawab singkat, "Biasa saja, Ayah."

Konflik tumbuh dalam keheningan. Alex merasa seperti ada tembok yang tumbuh di antara mereka, memisahkan mereka dari satu sama lain. Dia ingin menyelamatkan tradisi itu, tapi rasanya semakin sulit.

Di malam hari, Alex duduk sendirian di ruang tamu, merenung. Ancaman terhadap tradisi sarapan Sabtu itu muncul begitu jelas, dan dia harus menemukan cara untuk mengatasinya sebelum terlambat.

***

Alex memutuskan untuk membicarakan masalah ini dengan Lily. Mereka duduk bersama di ruang tamu, dengan suasana hati penuh ketegangan. "Lily, aku rindu waktu-waktu kita bersama. Tradisi ini penting bagiku, dan aku ingin kamu tahu betapa berharganya momen-momen itu."

Lily melihat mata ayahnya, mencoba membaca perasaannya. "Aku juga merindukannya, Ayah, tapi aku sibuk sekali."

Alex tersenyum lembut. "Bagaimana kalau kita mencari solusi bersama? Mungkin kita bisa menentukan waktu yang cocok untuk kita berdua, meskipun hanya sebentar."

Lily berpikir sejenak, lalu setuju. Dalam beberapa minggu berikutnya, mereka menyesuaikan jadwal, menemukan celah waktu di antara kesibukan Lily. Pada hari Sabtu, meskipun singkat, tradisi sarapan itu tetap hidup. Ini mungkin bukan seperti dulu, tapi mereka berhasil mempertahankannya.

Sarapan Sabtu mereka menjadi lebih berharga. Mereka berbicara tentang kegiatan Lily di sekolah, impian, dan tantangan yang dihadapi Lily. Alex mendukung putrinya dengan penuh semangat, menciptakan momen mendalam di antara mereka. Drama perlahan berubah menjadi kisah tentang kekuatan keluarga dan perubahan yang dapat diatasi.

***

Pagi Sabtu datang lagi, tapi kali ini dengan kegembiraan baru. Lily sudah mulai menyesuaikan diri dengan jadwalnya, dan mereka menemukan cara untuk mengubah bentuk tradisi. Alih-alih sarapan panjang seperti dulu, mereka membuat sarapan ringan yang bisa dinikmati bersama bahkan dalam waktu singkat.

Mereka duduk di teras dengan secangkir kopi dan beberapa kue kecil. Meskipun sederhana, momen itu tetap penuh makna. Alex melihat putrinya tumbuh, dan Lily merasa dihargai karena usaha ayahnya untuk tetap terlibat dalam hidupnya.

"Terima kasih, Ayah," ucap Lily sambil tersenyum. "Meskipun berubah, tradisi ini masih istimewa."

Alex tersenyum bangga. "Tradisi mungkin berubah bentuk, tapi yang penting adalah kita tetap bersama dan menghargai satu sama lain. Itulah yang membuatnya istimewa."

Mereka menikmati sarapan dengan tawa dan obrolan hangat. Meskipun berbeda dari sebelumnya, tradisi itu tetap hidup.

***

Ketika waktu berlalu, Alex dan Lily menyadari bahwa tradisi bukanlah hal yang kaku dan tak berubah. Itu adalah bagian dari hidup, dan melalui perubahan, mereka dapat menemukan cara untuk menjaganya tetap hidup. Cerita ini mengajarkan bahwa kekuatan hubungan keluarga tidak terletak pada kesempurnaan tradisi, melainkan dalam kemampuan untuk beradaptasi dan tetap bersama di tengah-tengah perubahan.

Kamu suka cerpen ini? Share donk ke temanmu!

Baca juga cepen menarik kami lainnya ya!

Kursi Kosong Di Meja Makan

Menjelajahi Dunia Buku Bersama Ayah

Terima kasih sudah berkunjung, sampai ketemu lagi di cerpen menarik kami lainnya!