Advertisement

Cerpen Ayah: Lukisan di Ruang Seni Kelas

Lukisan di Ruang Seni Kelas

Cerpen Ayah

KategoriCerpen Ayah
Cerpen Karangan: Sri Astuti

Anisa menatap kanvas kosong di hadapannya dengan tatapan menerawang. Kuas di tangannya yang biasa lincah menari di atas kanvas kini terkulai lemah. Entah sudah berapa lama dia duduk terpaku di ruang seni sekolah sepulang sekolah, berharap inspirasi datang menghampiri. 

Tetapi Anisa tahu, lukisannya tidak akan pernah bisa sebagus lukisan sang Ayah.

Kilasan kenangan bersama Ayahnya melintas cepat. Bagaimana jemari kokohnya memegang kuas dengan lembut, mencampur warna-warni cat air di palet, lalu membawa kuas itu menari-nari di atas kanvas. Bagaimana senyumnya mengembang melihat Anisa kecil duduk terkagum-kagum menontonnya melukis.

Lamunan Anisa buyar ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan melihat Pak Agung, guru seni rupa di sekolahnya, berdiri di ambang pintu.

“Mengerjakan lukisan lagi, Anisa?” tanya Pak Agung ramah. Anisa hanya tersenyum tipis dan mengangguk. 

“Oh iya, kemarin bapak baru saja membereskan gudang seni. Ada beberapa lukisan lama dari alumni yang bagus, mungkin kamu mau lihat?”

Mendengar kata lukisan, mata Anisa langsung berbinar. Tanpa ba-bi-bu lagi dia bangkit dari kursinya dan mengikuti Pak Agung ke gudang seni. Sesampainya di sana, Pak Agung menunjukkan beberapa kanvas lukisan yang terbungkus kain putih. Satu per satu ia buka kain penutupnya, memperlihatkan lukisan-lukisan indah dari mantan siswa yang kini sudah sukses menjadi pelukis.

Tetapi lukisan terakhir, yang paling besar, justru membuat Anisa membeku.

Seorang pria paruh baya tengah duduk di bangku taman, membaca koran pagi. Sinar matahari menerpa wajahnya yang tenang, membuat garis-garis halus di sudut matanya semakin jelas terlihat. Di sebelahnya, seorang gadis kecil tengah sibuk memberi makan merpati yang berkerumun. 

Tanpa sadar, air mata Anisa meleleh. Lukisan itu begitu detail dan persis dengan kenangannya bersama sang Ayah di taman kota sepuluh tahun lalu. Bahkan goresan kuasnya, cara melukiskan cahaya...

“Anisa? Kamu nggak apa-apa?” Suara Pak Agung menyadarkan Anisa dari lamunannya. Ia buru-buru menghapus air matanya.

“Eh, i-iya Pak. Saya nggak apa-apa,” jawabnya tergagap. “Cuma...ini lukisan siapa ya Pak? Kok bisa mirip banget sama Ayah saya yang sudah meninggal?”

Pak Agung mengernyit, lalu memperhatikan lukisan itu seksama. “Hmm...bapak juga nggak tahu pasti. Tapi kalau nggak salah ini karya salah satu alumni yang angkatannya jauh sebelum Ayah kamu. Mungkin cuma kebetulan mirip saja.”

Anisa mengangguk pelan, tapi matanya tak lepas dari lukisan itu. Kegelisahan mulai timbul di hatinya. Apakah ini cuma kebetulan belaka? Atau ada sesuatu...misteri yang lebih dalam?

***

Sepulang sekolah itu, Anisa memberanikan diri untuk menceritakan temuan misteriusnya pada sahabatnya, Santi dan Doni. Mereka adalah teman sekelas yang paling dekat dengannya sejak SMP. 

“Jadi kamu nemu lukisan kaya gitu di gudang seni?” tanya Santi penasaran setelah mendengar cerita Anisa. “Terus kata Pak Agung itu bukan lukisan Ayah kamu?”

Anisa menggeleng. “Bukan. Katanya itu lukisan alumni jauh sebelum Ayahku. Tapi...entah kenapa perasaanku nggak enak. Aku merasa ada yang disembunyikan dariku.”

“Wah, mencurigakan nih!” sahut Doni. “Gimana kalau kita selidiki siapa si pelukis sebenarnya? Siapa tahu bisa ketemu petunjuk tentang hubungannya sama Ayah kamu.”

“Ide bagus tuh!” kata Santi antusias. “Kita bisa tanya-tanya alumni atau guru-guru lain. Siapa tahu ada yang tahu sesuatu.”

Mendengar dukungan kedua sahabatnya, Anisa mengangguk mantap. Mereka bertiga lantas sepakat untuk mulai mencari informasi esok hari di sekolah. Meski masih diliputi kegelisahan, Anisa merasa lega karena tidak sendirian menghadapi misteri ini. 

Keesokan harinya, mereka bertiga langsung mewawancarai beberapa guru seni dan kakak kelas yang aktif di klub melukis. Sayangnya tidak ada yang tahu pasti siapa pelukis lukisan misterius itu. Beberapa menyebut nama alumni yang berbeda-beda, tapi tak ada bukti kuat. 

Sore itu, ketiganya duduk lesu di studio melukis. Penyelidikan hari itu tak membuahkan hasil. Namun Doni tiba-tiba mendongak dengan mata berbinar.

“Aha! Gimana kalau kita cari di arsip dokumen klub melukis aja? Siapa tahu ada data pelukisnya di sana!”

Mereka bertiga saling pandang penuh harap, lalu dengan semangat menuju ruang penyimpanan dokumen klub melukis. Tumpukan map dan album foto berdebu menanti untuk diselidiki satu per satu. 

“Ketemu!” seru Santi tiba-tiba, membuat Anisa dan Doni mendekat. Di tangannya ada sebuah album foto lama, terbuka pada selembar foto hitam putih buram oleh usia. Seorang pemuda tanggung tengah melukis di kanvas, dengan latar seorang pria paruh baya duduk membaca koran.

Foto itu diambil dari angle yang persis seperti objek lukisan yang ditemukan Anisa. Hanya saja dalam versi hitam putih, pudar, dan kabur. Tetapi Anisa mengenali sosok itu, membuat air mata perlahan mengalir di pipinya. 

“Itu...Ayah...” desisnya lirih. Kenangan masa kecilnya kembali berkelebatan. Sang Ayah yang selalu mendukung impiannya menjadi pelukis. Ayah yang selalu di sisinya...hingga nahas itu terjadi setahun lalu, merenggut sosok Ayah untuk selamanya. 

Santi dan Doni saling berpandangan prihatin. Mereka tahu, luka itu pasti terbuka lagi dalam hati Anisa. Namun sahabat mereka tetap tegar menatap foto peninggalan masa lalu itu.

“Ada tanggal dan nama pelukisnya...” gumam Doni sambil memperhatikan bagian bawah foto. "15 Juli 1990...pelukis: Rahmat Nur Khalis."

Ketiganya saling pandang. Dengan nama pelukis ini, penyelidikan mereka baru saja dimulai... 

Mulai saat itu, sepulang sekolah Anisa, Santi dan Doni rutin mencari informasi apapun tentang orang bernama Rahmat Nur Khalis, sang pelukis misterius. Sayangnya belum ada hasil signifikan selama beberapa hari. 

Hingga suatu ketika saat mereka tengah sibuk membongkar arsip di studio lukis, Pak Agung tiba-tiba masuk.

“Aduh, kalian ini pada ngapain sih?” tegurnya melihat berkas-berkas berserakan di mana-mana. Tidak enak, ketiga muridnya itu pun menceritakan apa yang mereka telusuri selama ini.

Pak Agung manggut-manggut mendengar cerita mereka tentang Rahmat, pelukis lukisan misterius itu. Lalu ia beranjak menuju rak buku, mencari-cari sesuatu. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa sebuah album foto usang. 

“Ini, mungkin bisa membantu penyelidikan kalian,” katanya sambil menyodorkan album itu pada Anisa. “Dulu Pak Rahmat adalah guru seni di sini, sebelum akhirnya resign dan mendirikan sanggar lukis.”

Mata Anisa berbinar cerah. Akhirnya, petunjuk penting! Ia segera membuka album foto itu dan menemukan berbagai foto Pak Rahmat bersama para siswanya, juga lukisan-lukisannya. Di akhir album, ada catatan kecil oleh salah satu murid. 

‘Kepada siapapun yang membaca: Pak Rahmat adalah guru seni yang sangat berpengaruh dalam hidup saya. Berkat beliau, impian saya menjadi pelukis profesional bisa terwujud. Kini sanggar lukis beliau telah pensiun, tapi jasa beliau akan selalu dikenang.’

Di bawahnya tertera alamat sanggar lukis Pak Rahmat. Senyum lega mengembang di wajah Anisa dan kedua sahabatnya. Mereka segera berpamitan pada Pak Agung untuk menuju ke alamat itu sepulang sekolah. 

Sesampainya di sana, mereka menemukan sebuah rumah tua bergaya tradisional dengan halaman luas. Di teras, seorang lelaki paruh baya tengah duduk bersantai menikmati sore hari. Begitu melihat ketiga remaja itu, pria itu tersenyum dan melambaikan tangan.

“Wah, ada tamu rupanya. Mari, silakan masuk,” sapanya ramah. 

Suasana akrab langsung tercipta saat mereka duduk bersama di ruang tamu. Pria yang ternyata adalah Pak Rahmat itu mendengarkan cerita mereka dengan penuh minat. Sesekali ia mengangguk dan tersenyum simpul.

“Jadi begitu rupanya...Hm, iya, dulu saya memang pernah melukis pemandangan Ayahmu di taman kota,” ujarnya kemudian pada Anisa. “Itu sudah lama sekali, sekitar lima belas tahun lalu.”

“Lalu...kenapa Bapak bisa melukis Ayah saya?” tanya Anisa penasaran. Pak Rahmat tersenyum lembut.

“Ayahmu Rahmat adalah sahabat baik saya semasa SMA dulu...”

***  

Penjelasan Pak Rahmat seolah menyibak kabut misteri yang menyelubungi pikiran Anisa selama ini. Ternyata Ayah Anisa, Rahmat, memang bersahabat dekat dengan guru seni itu sejak masa SMA. Keduanya sama-sama punya bakat melukis dan sering berbagi ilmu satu sama lain.

Namun kemudian jalan hidup memisahkan mereka saat kuliah. Sang Ayah menikahi ibu Anisa dan menjadi pegawai kantoran biasa. Sementara Pak Rahmat meneruskan menjadi guru seni dan pelukis. Meski berbeda profesi, persahabatan mereka tetap akrab.

Hingga lima belas tahun lalu saat Pak Rahmat berkunjung ke rumah Ayah Anisa dan melihat keakraban keluarga kecil itu. Ia terinspirasi dan melukis potret Ayah Anisa sedang membaca koran di taman, lengkap dengan Anisa kecil yang sedang memberi makan merpati. 

Tak disangka, lukisan indah itu kini muncul kembali sebagai misteri yang membawa luka lama dalam diri Anisa. Air matanya meleleh saat menyadari bahwa potret itu diambil di hari terakhir sang Ayah sebelum kecelakaan tragis merenggut nyawanya.

“Maaf kalau lukisan itu jadi membangkitkan kenangan pahit,” ujar Pak Rahmat lirih. “Tapi percayalah, arwah Ayahmu selalu hidup dalam karyanya. Dia pasti sangat bangga pada bakat melukismu sekarang.”

Anisa mengangguk, hatinya diliputi perasaan haru dan lega karena telah menemukan kebenaran di balik misteri ini. Berkat lukisan Pak Rahmat, kini ia bisa merasakan kehadiran sang Ayah dalam setiap goresan kuasnya.

Sepulang dari rumah Pak Rahmat, hati Anisa dipenuhi rasa syukur karena ditemani sahabat setia, Santi dan Doni. Berkat mereka, ia bisa melewati tantangan emosional ini. Anisa bersumpah, persahabatan mereka akan abadi, seperti kenangan manisnya bersama sang Ayah yang terpatri dalam lukisan.

“Terima kasih ya kalian sudah membantuku,” ucap Anisa tulus pada kedua sahabatnya. “Berkat kalian, aku jadi mengerti makna di balik lukisan itu.”

Santi dan Doni hanya tersenyum lebar. Mereka tahu, kini Anisa telah menemukan kedamaian dalam hatinya yang pernah terluka. Dan perjalanan pencarian rahasia ini telah mendewasakan ketiganya, memperkuat ikatan persahabatan mereka.