Advertisement

Cerpen Ayah: Panggung Kenangan Terakhir

Panggung Kenangan Terakhir

Cerpen Ayah

KategoriCerpen Ayah
Cerpen Karangan: Lisa Kurniawan

Rizky duduk termenung di sudut ruangan. Pandangannya menerawang jauh keluar jendela, menembus malam yang sunyi. Sesekali ia mendesah pelan, memijat dahinya yang terasa berdenyut. 

Pikirannya melayang pada kejadian beberapa waktu lalu, saat ia dan keluarganya menghadiri pemakaman ayahnya. Bima Pratama, sutradara ternama yang sangat disegani di dunia perfilman Tanah Air. Sosok ayah sekaligus mentor baginya. 

Rizky masih ingat jelas raut wajah ibunya yang kuyu dan sembab. Juga sorot mata adik perempuannya yang merah dan basah. Mereka semua sangat terpukul dengan kepergian ayah yang terlalu cepat. 

Di usianya yang baru 54 tahun, Bima telah meraih banyak prestasi gemilang di jagat perfilman Indonesia. Pulang-pergi luar negeri mengikuti berbagai festival, mengumpulkan trofi dan penghargaan. Karya-karyanya kerap memenangkan nominasi di berbagai ajang bergengsi. 

Namun di balik semua pencapaian cemerlang itu, Bima adalah sosok ayah yang hangat dan dekat dengan keluarga. Rizky sangat mengagumi sosoknya yang tegas dan disiplin, tapi juga penyayang dan pengasih. 

Sejak kecil Rizky sering diajak mengunjungi lokasi syuting oleh sang ayah. Melihat langsung proses kreatif di balik layar. Bagaimana ide dan gagasan mentah perlahan diwujudkan menjadi sebuah mahakarya. 

Rizky kecil pun kerap dititipkan pada asisten sutradara saat Bima dan kru sibuk mengerjakan satu adegan. Duduk diam di pojok ruangan sambil memperhatikan sang ayah dengan kagum, berharap suatu saat bisa mengikuti jejaknya.   

Lamunannya buyar ketika ponsel di sakunya berdering nyaring. Rizky merogoh dan melihat nama Kanya, manajernya, tertera di layar.

"Halo Kan," sapanya singkat.

"Rizky, apa kabar? Maaf mengganggu malam-malam, ada kabar bagus nih. Kamu diseleksi untuk main film garapan sutradara muda Jay Subagja. Casting-nya besok siang jam 2 di Epicentrum Studio." 

Rizky mengernyitkan dahi mendengar kabar itu. Ia sama sekali belum siap. Masih belum bisa sepenuhnya keluar dari rasa berdukanya. 

"Gimana Rizky, tertarik nggak nih? Filmnya bergenre drama keluarga, katanya cocok banget sama image kamu. Pas banget setelah..." 

Kanya tidak meneruskan kalimatnya, menyadari kekeliruannya menyinggung masalah itu di saat yang tidak tepat. Rizky hanya terdiam. 

"Maaf, aku nggak bermaksud..." ujar Kanya lirih.

"Iya nggak apa-apa kok Kan, aku paham. Cuma emang masih butuh waktu buat ngumpulin mood lagi. Tapi kayaknya casting ini menarik juga sih. Boleh deh aku coba besok."

"Nah begitu dong! Itu baru Rizky yang aku kenal!" seru Kanya antusias. 

Rizky hanya tersenyum simpul mendengar kegembiraan manajernya itu. Ya, mungkin inilah saat yang tepat untuk kembali bangkit. Rizky merasa perlu segera menata hidupnya yang kini tanpa sosok panutan terbesarnya itu. 

Keesokan harinya di casting, Rizky bertemu Jay Subagja, sutradara muda yang tengah naik daun belakangan ini. Film garapannya yang terakhir mendapat sambutan luar biasa, dan ia tengah merampungkan naskah film terbarunya. 

"Jadi Rizky, aku sangat tertarik dengan akting dan ekspresi yang kamu tunjukkan di film-film sebelumnya. Sepertinya cocok sekali dengan karakter Rama yang sedang kucari untuk film terbaruku ini," ujar Jay membuka pembicaraan. 

Rizky mengangguk sopan, "Terima kasih Pak Jay. Saya juga sangat tertarik dengan konsep film Bapak kali ini. Sepertinya mengangkat persoalan yang dekat dengan kehidupan banyak orang."

"Betul sekali. Ini kisah nyata tentang anak muda yang berusaha merawat ibunya yang sakit keras setelah sang ayah meninggal dunia. Persis situasi yang mungkin sedang kamu alami saat ini..."

Perkataan Jay sontak membuat Rizky tertegun. Ia sama sekali tidak menyangka akan ditawari peran yang begitu dekat dengan apa yang tengah dirasakannya saat ini.  

Apakah ini pertanda? Ataukah hanya kebetulan semata? Entahlah, yang pasti tawaran itu sukses mengusik perasaan Rizky yang masih bergelora.    

Setelah berpamitan dari studio Epicentrum, Rizky duduk termenung di dalam mobilnya. Ia masih diliputi keraguan. Di satu sisi ia sangat ingin segera bangkit dari keterpurukan dan kembali berkarya. Tapi di sisi lain, ia masih sangat merindukan sosok ayahnya.    

Lamunannya kembali buyar oleh dering ponselnya. 

"Halo..."

"Mas Rizky, ini Mbak Eni, asisten Bapak Bima," suara wanita paruh baya terdengar dari seberang.  

"O iya Mbak Eni, ada apa ya?"

Eni adalah asisten sang ayah selama bertahun-tahun. Perempuan setia yang selalu sigap meringankan semua urusan Bima, baik di rumah maupun lokasi syuting. 

"Jadi gini Mas, kemarin saya diberi tugas Bapak Bima untuk nyusun dan ngelengkapin berkas-berkas terakhir yang belum sempat dikerjain sebelum beliau..." Eni tidak sanggup meneruskan kalimatnya.   

"Nah, di map kuning ini ada draft film terbaru Bapak Bima yang rencananya mau jadi project terakhir beliau. Tapi sayang, belum sempat terealisasi karena... karena..." 

Suara Eni mulai bergetar menahan tangis. Rizky ikut terenyuh mendengarnya. 

"Udah Mbak Eni, nggak usah dilanjutin. Aku ngerti kok. Trus rencananya draft itu mau diapain?"

"Nah itu dia Mas, rencananya semua berkas ini bakal diserahin ke studio untuk dikerjain tim sutradara muda. Tapi sebelum itu, Bapak Bima sempat nyuruh saya ngecek sama Mas Rizky dulu. Siapa tahu Mas Rizky tertarik buat terlibat di project ini."

Jantung Rizky berdegup kencang mendengar ucapan Eni. Jadi ternyata sang ayah sempat merancang satu film lagi sebelum dipanggil Yang Maha Kuasa? Dan beliau bahkan secara khusus memikirkan Rizky untuk turut ambil bagian di dalamnya? 

"Oke deh Mbak Eni, kita ketemu besok aja ya biar bisa ngobrol lebih lanjut soal ini. Kebetulan besok saya kosong kok. Jam 10 pagi gimana?"

"Siap Mas, besok jam 10 saya tunggu di Excelso. Terima kasih banyak ya Mas sudah mau meluangkan waktu. Saya tunggu besok."

Sambil menyetir pulang ke apartemennya, pikiran Rizky kembali terombang-ambing dilema. Di satu sisi, ia sangat penasaran dengan draft film sang ayah yang belum sempat terealisasi itu. Tapi di sisi lain, ia ragu apakah sudah siap secara emosi untuk terlibat.   

Sesampainya di apartemen, Rizky langsung merebahkan diri di tempat tidur. Matanya menerawang kosong ke langit-langit kamar. Pikirannya melayang jauh pada kenangan manis bersama mendiang ayahnya tercinta. 

Potongan-potongan kejadian silih berganti berkelebatan bagai rol film usang. Seperti menonton ulang kisah hidupnya bersama sang ayah, hingga tragis berakhir beberapa waktu lalu.   

Tanpa terasa air mata Rizky mengalir deras membasahi pipinya. Rindu yang mendalam kembali menghujam relung hatinya. Sosok pahlawan yang selalu dikagumi dan dibanggakannya kini tiada. 

Rizky terisak pelan dalam kesendiriannya. Menangisi apa yang telah hilang dan tidak akan pernah bisa kembali lagi. 

Keesokan paginya Rizky datang ke Excelso Studio, tempat sang ayah menggarap semua film-film terbaiknya. Sepanjang perjalanan menuju ruang kerja Bima, Rizky diliputi perasaan haru dan rindu yang mendalam. 

Begitu pintu terbuka, Rizky seakan melihat sosok Bima duduk di balik meja kerjanya yang megah. Senyum hangat menyambut sang putra bungsu kesayangan. 

"Masuk Nak Rizky, Ayah sudah menunggumu dari tadi," ucap sosok itu tanpa suara. 

Rizky menggelengkan kepalanya, menyadarkan diri dari fatamorgana singkatnya. Ia menarik napas panjang dan melangkah masuk. Menghirup aroma ruangan yang tanpa sadar sangat dirindukannya. 

Mbak Eni sudah menunggu sambil tersenyum lembut. Di tangannya terlipat rapi amplop cokelat berisi draft film terakhir karya Bima Pratama.

"Silakan Mas Rizky, ini draft yang kemarin saya ceritakan," ujarnya seraya menyerahkan amplop itu pada Rizky.  

Dengan hati-hati Rizky membuka dan menelusuri lembar demi lembar draft yang masih bertuliskan tangan itu. Tulisan tangan sang ayah yang rapi dan elegan, persis seperti yang selalu dilihatnya sewaktu kecil. 

Semakin ke dalam Rizky semakin terseret ke dunia imajinasi Bima Pratama. Plot, karakter, treatment, breakdown scene, semuanya begitu detail dan matang. Film inilah yang akan jadi mahakarya penutupnya, sebelum sang Maha Kuasa lebih dulu memanggilnya pulang. 

"Gimana Mas Rizky, menurut Mas bagaimana draftnya?" tanya Eni penuh harap.  

Rizky mengangkat wajahnya perlahan. Sorot matanya menerawang jauh dengan seribu ekspresi. Ia kembali menatap lekat lembaran di tangannya, lalu menjawab lirih.

"Sempurna Mbak... ini adalah draft film paling sempurna yang pernah Ayah tulis seumur hidupnya..."   

*****

Beberapa hari kemudian Rizky duduk berhadapan dengan Jay Subagja di Epicentrum Studio. Kali ini dengan niat lain, yaitu mengundurkan diri dari film yang sebelumnya sudah disepakati.   

Wajah Jay tampak kecewa mendengar keputusan sepihak itu. 

"Tapi Rizky, kenapa mendadak begini? Padahal kemarin kamu udah setuju dan kita tinggal mulai syuting minggu depan?"

Rizky menghela napas panjang. Ia sudah mempertimbangkan baik-baik langkahnya ini sebelum memberi kabar pada sang sutradara.

"Maaf ya Pak Jay, bukannya saya mau phak-phakan atau gimana. Tapi kemarin saya dikasih kesempatan langka buat terlibat di project film terakhir almarhum ayah saya. Jadi saya memutuskan untuk fokus di situ saja."

Jay terlihat maklum mendengar penjelasan Rizky. Ia bisa memahami posisi sentimentil aktor muda di hadapannya itu.  

"Wah, kalau begitu saya turut senang ya. Pasti projek itu sangat berarti buat kamu dan keluarga. Ya udah deh gapapa, yang penting kita tetap support satu sama lain ke depannya."

"Betul Pak, terima kasih banyak atas pengertiannya ya Pak Jay. Suatu saat nanti saya pasti akan sangat terbuka untuk berkolaborasi dengan Bapak."

Rizky pun beranjak dari kursinya dan bersalaman erat dengan Jay. Perasaannya kini jauh lebih lapang setelah mengambil keputusan besar itu. 

Sepeninggal Rizky, Jay masih tertegun memandangi pintu. Ia sungguh kehilangan sosok Rizky yang diyakininya sangat pas memerankan karakter utama film garapannya kali ini.   

Tapi mau bagaimana lagi, ia sadar betul arti penting proyek warisan mendiang ayah bagi sang aktor muda itu. Semoga saja suatu hari nanti, takdir kembali mempertemukan mereka.

Hari demi hari Rizky mulai disibukkan dengan persiapan film terakhir sang ayah. Tim kreatif yang ditunjuk sang studiolaras membaca dan mendalami draft asli Bima Pratama. Mencari cara terbaik untuk mewujudkan gagasan mahakarya itu sesuai visi sang maestro.  

Rizky sendiri mulai berproses menjiwai karakter Reno, tokoh utama dalam cerita itu. Pemuda sederhana namun pemberani, rela mengorbankan masa mudanya demi merawat sang ibu yang sakit parah. 

Seringkali Rizky merenung sendirian sambil membayangkan perasaan Reno dan pengorbanannya. Berusaha menyelami dan menghayati setiap detil cerita agar mampu memeraankan dengan maksimal di depan kamera nanti. 

Kadang Rizky juga menyempatkan diri mampir ke pemakaman sang ayah. Bercerita dan berkeluh kesah tentang proses syuting yang tengah digarapnya. Seolah Bima hadir dan turut mengawasi di balik layar.

"Ayah, semoga Rizky bisa memerankan Reno dengan baik ya. Rizky pengen bisa bikin Ayah bangga dari surga sana," ucapnya lirih di depan pusara sang ayah.

Hingga akhirnya, jadwal syuting pun tiba. Rizky datang lebih pagi ke lokasi dan langsung menuju trailer pribadinya. Di dalam hati ia membulatkan tekad untuk total menghayati perannya kali ini.

Sang sutradara muda, Dito, menghampiri Rizky sesaat sebelum take. Wajahnya yang ramah menampakkan binar antusiasme.

"Rizky, lo siap kan hari ini? Inget ya, adegan pertama ini sangat menentukan. Penonton langsung bisa dapet feel perjuangan Reno lewat akting lo," ujarnya memberi instruksi.

Rizky mengangguk pasti, "Siap, serahkan saja sama saya Mas Dito!"

Take pertama pun dimulai. Adegan Rizky merawat sang ibu - diperankan aktris senior Tika Panggabean - yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. 

Ekspresi haru, lelah, sedih, putus asa, bergantian ditampilkan Rizky dalam dialog dan aktingnya yang mendalam. Tanpa sadar air mata mengalir di pipinya, menambah kekuatan dramatis adegan yang sedang digarap.

"Cut!" teriak Dito saat merasa puas dengan hasil tangkapan kameranya. "Bagus Rizky, very good take! Kita coba lagi ya untuk backup, tapi aku yakin nggak butuh banyak take buat scene ini," pujinya.

Rizky mengelap air matanya dan tersenyum lega. Syukurlah take perdananya berjalan sangat baik, pertanda awal yang menggembirakan untuk seluruh proses syuting ke depannya.  

Hari demi hari syuting berjalan lancar. Sangat terasa kekompakan dan chemistry dari seluruh elemen film. Semua saling mendukung dan memahami visi yang hendak diwujudkan demi menghormati Bima Pratama.

Hingga tanpa terasa, jadwal pun memasuki scene klimaks. Adegan penentuan di mana pilihan berat harus diambil Reno demi keselamatan ibunya tercinta.

Rizky sudah sangat menghayati karakter dan nasib yang diemban Reno saat itu. Raut wajahnya mengguratkan kepedihan mendalam di hadapan sang aktris senior.

"Ma... hanya ini satu-satunya cara demi keselamatan Ibu..." isaknya tertahan.

Tangannya gemetar memegang pisau lipat, bersiap menyayat urat nadi sendiri demi mendapatkan donor ginjal yang mendesak untuk operasi sang ibu.  

"Cut! Oke fix scene ini. Great take Rizky!" seru Dito puas. 

Rizky ambruk lemas setelah melewati adegan berat barusan. Napasnya terengah dengan peluh membanjiri wajah dan lehernya. Syuting hari ini resmi ditutup setelah menuntaskan klimaks alur cerita.

Malam itu Rizky pulang ke apartemennya dengan perasaan lega luar biasa. Hampir semua scene sudah terekam sempurna, tinggal beberapa hari terakhir pengambilan gambar sisa. Ia sangat bersyukur prosesnya berjalan lancar.

Sesampainya di kamar tidur, Rizky menatap pigura besar mendiang sang ayah. Senyuman haru tersungging di wajahnya yang letih.  

"Ayah... sebentar lagi film Ayah rampung syuting. Tenang aja ya Ayah, filmnya pasti jadi keren kok. Pokoknya nanti Ayah mesti nonton di premiere perdananya!"

Esoknya adalah hari terakhir syuting. Tinggal menyelesaikan beberapa scene penutup yang sifatnya pelengkap. 

Suasana di lokasi sudah tidak setegang hari-hari sebelumnya. Para kru dan pemain tampak bersantai menunggu giliran take, sembari bersenda gurau satu sama lain.

Rizky sendiri sedang asik mengobrol dengan Dito dan aktris senior lainnya di sudut lokasi. Mereka tampak akrab bercengkerama santai menghabiskan waktu senggang. 

Sampai kemudian Dito memanggil semuanya berkumpul. Waktunya take terakhir sebelum resmi menutup seluruh proses produksi hari ini. 

Adegan diawali dengan Rizky di pemakaman, berdiri termenung di depan makam sang ibu. Ungkapan terima kasih dan penghormatan terakhir sebelum ia melanjutkan hidup.

Kamera menyorot lekat wajah Rizky yang tenang dan damai. Sorot mata penuh syukur dan ikhlas. Senyuman tulus merekah di bibirnya.   

Ia membungkuk dalam-dalam, menaburkan bunga di atas gundukan makam sang ibu. Mengucap doa syukur atas karunia kasih sayang yang pernah diterimanya, meski hanya sekejap. 

Kilasan balik singkat kebersamaannya dengan sang ibu kemudian ditampilkan. Berbagai ekspresi dan emosi mewarnai raut wajah Rizky saat itu. 

Hingga akhirnya kamera kembali ke pemakaman. Rizky tersenyum tenang untuk terakhir kali sebelum beranjak pergi. Bersiap melanjutkan sisa hidup dengan tegar dan penuh syukur.  

"Cut dan print! Terima kasih semuanya!" seru Dito menutup syuting siang itu. 

Sorak sorai dan tepuk tangan membahana di lokasi. Tangis haru juga pecah dari para kru dan pemain yang turut larut dalam cerita. Film indah nan mengharukan ini akhirnya rampung juga produksinya. 

Rizky sendiri tak kuasa menahan luapan rasa syukur di dadanya. Akhirnya impian sang ayah untuk menggarap satu film terakhir bisa terwujud. Berkat kerja keras dan dedikasi penuh dari seluruh tim.

Dan ia pun akhirnya berhasil melewati tantangan berat dengan memerankan tokoh utama sekaligus produser film ini. Rizky bahagia bisa mengenang sosok sang ayah lewat proyek mulia yang kini resmi selesai.  

Enam bulan berselang, tibalah malam yang dinanti seluruh tim produksi. Malam premier perdana film "Kasih Sekejap" di bioskop utama Epicentrum. Kursi-kursi studio dipadati ratusan undangan dan awak media.

Di barisan depan terlihat ibu dan adik Rizky bersama kerabat dekat lainnya. Juga utusan dari Excelso Studio tempat Bima Pratama bernaung selama ini. 

Rizky sendiri tampil gagah dengan balutan setelan jas rapi. Senyumnya merekah menyambut para tamu dan awak media yang berebutan wawancara singkat. 

Tak lama kemudian sang sutradara naik ke panggung, mengucapkan sambutan singkat sebelum film diputar perdana untuk para hadirin. Rizky dan pemain utama lainnya turut bergabung di atas panggung.

"Malam ini adalah malam istimewa buat kami semua. Berkat kerja keras dan dedikasi penuh dari seluruh tim, akhirnya film Kasih Sekejap rampung juga produksinya," ujar Dito membuka acara.

Hadirin bertepuk tangan riuh rendah. Rizky melambaikan tangan sambil tersenyum haru ke kerumunan tamu dan awak media.

"Tentu saja prestasi ini tak lepas dari ide brilian dan karya monumental almarhum Bima Pratama, yang notabene ayah dari aktor muda berbakat kita, Rizky Pratama!" 

Sorak tepuk tangan kembali bergemuruh. Rizky maju selangkah ke depan dan membungkuk dalam, disambut riuh tepuk tangan dan kilatan kamera.

"Penghormatan dan ucapan terima kasih kami tujukan pada beliau yang kini tengah mengawasi dari surga sana. Semoga roh beliau bahagia melihat karyanya akhirnya rampung dan siap dinikmati penonton."

"Baiklah, tanpa panjang lebar lagi, silakan menikmati tayangan perdana film Kasih Sekejap!"

Studio mendadak gelap gulita. Para hadirin langsung terfokus pada layar lebar di depan ruangan tempat film akan diputar sebentar lagi.

Dua setengah jam berlalu begitu saja. Para penonton larut dalam setiap plot dan emosi yang tersaji apik di layar. Sesekali terdengar isak tangis terharu dari bangku penonton. 

Begitu film usai dan lampu menyala, studio langsung dipenuhi tepuk tangan meriah. Para awak media berdiri sambil bertepuk tangan lama. Sangat terpukau dengan kualitas film dan akting para pemainnya, khususnya Rizky.

Rizky sendiri berdiri di pinggir panggung dengan linangan air mata haru. Perasaannya campur aduk saat ini. Bahagia, haru, terharu, semua jadi satu. 

Ia sungguh bersyukur bisa terlibat langsung mewujudkan wasiat terakhir sang ayah tersayang. Rizky yakin, Bima pasti tengah tersenyum bangga menyaksikan putranya berakting begitu memukau di atas layar.

"Terima kasih Ayah... terima kasih..." bisiknya lirih sambil mendongak ke langit-langit studio. Membayangkan sosok sang ayah tengah mengulurkan tangan, mengajaknya ke pangkuan untuk beristirahat dari penatnya syuting.

Kini giliran Rizky yang harus merelakan kepergian orang terkasih dalam hidupnya...

Sekian kisah panjang perjalanan hidup Rizky Pratama bersama sang ayah tercinta, Bima Pratama. Kado terindah yang sempat ditinggalkan sang maestro sebelum dipanggil pulang lebih dulu oleh Yang Maha Kuasa...

Akankah Rizky mampu melewati rasa kehilangan yang mendalam pada sosok ayahnya? Dan apakah ia akan sanggup melanjutkan kariernya setelah sukses membintangi film terakhir sang ayah?