Advertisement

Cerpen Ayah: Pertaruhan Terakhir Seorang Ayah

Pertaruhan Terakhir Seorang Ayah

Cerpen Ayah


Cerpen Karangan: Lisa Kurniawan

Malam itu terasa begitu sunyi di rumah Bambang. Ia duduk termenung di kamarnya, sebatang rokok menyala redup di tangannya. Wajahnya yang kuyu mencerminkan pertarungan batin yang mendalam, seolah berbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya. 

Bambang menghisap rokoknya dalam-dalam, kepulan asap melayang di sekitarnya menciptakan suasana mencekam. Pikirannya melayang pada kebiasaannya terlibat dalam dunia perjudian—kebiasaan yang telah merenggut banyak hal berharga dalam hidupnya.

Ia teringat pada masa-masa awal ketika baru mulai terlibat dalam perjudian. Saat itu Bambang masih berstatus bujangan, dan menemukan adrenalin serta sensasi memabukkan dari meja-meja judi. Tanpa sadar kebiasaan itu tumbuh, bahkan setelah ia berkeluarga.

***

Kini Bambang telah berusia 40 tahun, dengan seorang istri dan dua orang anak yang masih kecil. Pekerjaannya sebagai karyawan toko sepatu memberinya penghasilan pas-pasan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, gairahnya pada perjudian kerap kali membuat penghasilannya lenyap tak berjejak.

Istrinya, Fitri, sering mengeluhkan uang yang semakin menipis akibat kebiasaan judi Bambang. Anak-anaknya—Rafi dan Nadia—yang masih duduk di bangku sekolah dasar, kerap kali merengek meminta uang jajan tambahan. Bambang tahu ia telah menelantarkan peran sebagai kepala rumah tangga. Namun dorongan untuk berjudi selalu saja mengalahkan niatnya untuk berhenti.

Belakangan tekanan berat dirasakan dalam rumah tangganya. Fitri nyaris tak lagi berbicara padanya, sementara anak-anak mulai menjaga jarak darinya. Tatapan penuh kekecewaan dari istri dan buah hatinya seolah menghakiminya setiap kali Bambang melangkah masuk ke dalam rumah. 

"Cukup sudah!" gerutu Bambang pada dirinya sendiri. Ia menjatuhkan puntung rokoknya ke lantai lalu menginjaknya dengan kasar, seolah melampiaskan rasa frustasinya pada benda tak bernyawa itu.

Bambang sadar, kebiasaan perjudiannya telah merenggut banyak hal. Fitri yang dulu begitu mencintainya kini menjaga jarak darinya, enggan berbagi cerita seperti dahulu. Senyum polos Nadia dan Rafi yang selalu menyambutnya pulang kerja telah sirna, berganti pandangan dingin penuh kekecewaan.

Lebih dari itu, Bambang sadar ia telah kehilangan harga dirinya sebagai seorang kepala keluarga. Ia gagal memenuhi perannya sebagai ayah dan suami, terlalu larut dalam dunianya sendiri hingga melupakan tanggung jawabnya pada istri dan anak-anaknya.

Bambang merasakan identitasnya kini terpecah belah. Sebagian dirinya masih sangat terikat pada dunia perjudian dan adrenalin yang memabukkan itu. Namun, nurani kecilnya mengingatkannya akan tanggung jawab sebagai seorang ayah dan suami. Ia merasa terjebak dalam pergulatan moral yang mendalam.

Pertanyaan-pertanyaan sulit berkelebat dalam benaknya: Apakah kepuasan pribadinya dari perjudian lebih penting dari kebahagiaan istri dan anak-anaknya? Apakah sudah terlambat baginya memperbaiki retaknya hubungan dengan keluarganya? Apakah ia sanggup melepaskan belenggu kecanduan judinya demi mereka?

Bambang mengacak-acak rambutnya frustasi. Ia tahu, suatu keputusan besar harus segera diambilnya. Hidupnya tidak mungkin lagi berlanjut dalam ketidakpastian seperti saat ini. Ia harus memilih antara dua pilihan yang sama-sama sulit: bertaruh pada kemungkinan memperbaiki hubungan dengan keluarganya, atau tenggelam dalam kenikmatan semu perjudian dan kehilangan keluarganya selamanya.

Bambang merasakan peluh dingin menetes di keningnya. Kedua pilihan di hadapannya sama-sama menakutkan. Melepaskan kecanduan judinya setelah puluhan tahun terasa mustahil, namun membayangkan kehilangan keluarganya juga terlalu menyakitkan.

Jauh di lubuk hatinya, Bambang sadar sudah waktunya baginya berhenti berjudi. Ia tahu, itu satu-satunya cara untuk memperbaiki retaknya hubungannya dengan Fitri, Rafi dan Nadia. Namun egonya memberontak--dunia perjudian telah menjadi bagian hidupnya terlalu lama. 

Bambang merasa dirinya terjebak dalam konflik moral yang pelik. Tanggung jawab sebagai seorang ayah dan suami berseteru dengan kepuasan pribadi dari kecanduan judinya. Kedua hal itu kini bertarung sengit dalam benaknya, menciptakan dilema yang menyiksanya.

Malam semakin larut, namun Bambang sama sekali belum bisa memejamkan matanya. Ia mondar-mandir gelisah di kamarnya, berdialog dengan dirinya sendiri. Pertanyaan demi pertanyaan moral berkelebat dalam benaknya, mencari jawaban atas dilema pelik yang tengah dihadapinya.

"Apakah aku sanggup melepaskan kecanduan judiku dan kembali menjadi ayah yang baik bagi anak-anakku?" tanyanya pada dirinya sendiri. Lalu dengan cepat egonya menyahut skeptis.

"Itu mustahil! Kau sudah terlalu larut dalam perjudian. Mana mungkin bisa berhenti begitu saja? Keluargamu pasti sudah kecewa berat padamu."

Bambang menggelengkan kepalanya, menolak mempercayai sangkaan negatif itu. "Aku harus berusaha demi anak-istriku! Mereka berhak mendapatkan suami dan ayah yang lebih baik," katanya memberi semangat pada dirinya sendiri. 

Namun keraguan kembali menyusup. "Bagaimana jika kau gagal? Bagaimana jika dorongan untuk berjudi itu kembali muncul? Apakah kau yakin sanggup menahan godaan itu demi keluargamu?"

Bambang memejamkan matanya rapat-rapat, berusaha meredam suara-suara ragu dalam kepalanya itu. Ia tahu, saatnya baginya mengambil keputusan besar yang akan menentukan nasibnya ke depan. Apapun pilihannya, konsekuensinya akan sangat berat. Namun, Bambang yakin dalam hatinya, kebahagiaan keluarga harus menjadi prioritasnya.

Keesokan paginya, Bambang menemui Fitri dengan penuh determinasi. Ia duduk berhadapan dengan istrinya yang sudah bertahun-tahun mendampinginya itu, menatap dalam-dalam ke matanya yang sayu.

"Aku akan berhenti berjudi," ucap Bambang tegas, tanpa keraguan. "Maafkan aku yang selama ini mengecewakanmu. Mulai sekarang, aku berjanji akan berubah demi kamu dan anak-anak."

Fitri menatap suaminya, campur aduk antara terkejut dan skeptis. Sudah terlalu sering ia mendengar janji palsu serupa dari Bambang. Namun, kali ini ia melihat kesungguhan dan ketegasan yang berbeda di mata suaminya itu. 

Dengan ragu Fitri meraih tangan Bambang, meremasnya lembut. "Apa kau yakin, Bang?" tanyanya lirih. 

Bambang mengangguk pasti. "Aku sadar, selama ini keegoisanku telah menyakiti kalian semua. Tidak ada lagi yang lebih penting bagiku selain kamu dan anak-anak kita."

Mendengar keyakinan dalam suara Bambang, Fitri tak kuasa menahan air matanya. Ia memeluk erat suaminya, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun merasakan harapan kembali dalam hatinya.

Sepanjang hari itu Bambang menghabiskan waktunya bersama Fitri dan kedua anaknya. Ia berusaha menjalin kembali ikatan batin yang telah lama renggang dengan berbagi cerita dan canda tawa, hal yang sudah lama tidak dirasakannya bersama keluarga tercinta ini.

Awalnya Nadia dan Rafi bersikap dingin padanya, jelas masih merasakan kekecewaan mendalam pada sosok ayah yang kerap kali mengabaikan mereka itu. Namun lama kelamaan, kehangatan Bambang yang dulu pernah mereka kenal mencairkan dinding es itu. Mereka bercanda dan tertawa bersama Bambang, menikmati waktu berharga sebagai keluarga utuh.

Menjelang petang, Bambang mengumpulkan Fitri dan kedua anaknya. Ia meraih tangan mereka satu per satu, menatap dalam-dalam mata mereka. 

"Ayah tahu, ayah telah banyak mengecewakan kalian semua," ujarnya lirih. "Tapi mulai sekarang, ayah berjanji akan selalu ada untuk kalian."

Fitri dan kedua anaknya menatap Bambang dengan mata berkaca-kaca. Mereka tahu perjalanan panjang masih menantikan keutuhan keluarga mereka. Namun kali ini, mereka melihat kesungguhan di mata Bambang untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya.

Dalam beberapa hari ke depan, Bambang dan Fitri mencari bantuan konselor profesional untuk mengatasi kecanduan judi Bambang. Mereka tahu, tekad dan kemauan saja tidak cukup tanpa adanya dukungan ahli.

Atas rekomendasi konselornya, Bambang mulai mengikuti terapi perilaku dan kelompok pendukung bagi para pecandu judi. Program ini dirancang untuk membantunya mengenali faktor pemicu ketergantungannya pada perjudian, dan mengajarkan strategi adaptif untuk menghindari kambuhan.

Terkadang Bambang masih dilanda keraguan, apakah dirinya sanggup melepaskan belenggu kebiasaannya yang sudah bertahun-tahun itu. Namun dukungan penuh dari Fitri dan anak-anak, juga bantuan para profesional kecanduan, sedikit demi sedikit membuatnya yakin ia bisa melawan dorongan untuk kembali judi.

Hari demi hari Bambang jalani tanpa terlibat dalam aktivitas perjudian. Perlahan ia mulai merasakan kebebasan yang telah lama hilang dari hidupnya, terlepas dari belenggu kecanduan yang menjeratnya selama puluhan tahun.

Hubungannya dengan Fitri dan kedua buah hatinya kian hari kian membaik. Mereka mulai merasakan harapan baru untuk kembali menjadi keluarga yang bahagia, seperti dulu sebelum perjudian merenggut keutuhan mereka.

Bambang kini lebih sering tersenyum dan bercanda dengan keluarga kecilnya. Ia kembali menikmati saat-saat mengantar Rafi dan Nadia ke sekolah, memasak bersama Fitri, atau sekedar menonton acara kesukaan mereka di televisi. Hal-hal kecil dalam kebersamaan itu kini terasa sangat berharga, setelah bertahun-tahun hidup dalam jarak dan dingin.

Suatu sore sepulang kerja, Bambang tanpa sengaja berpapasan dengan dua teman lamanya--Badu dan Anton--di warung kopi langganan mereka dulu. Keduanya adalah rekan sesama pemain judi Bambang di masa lalu.

"Wah, jarang-jarang kau mampir ke sini lagi, Bang! Ke mana saja?" sapa Badu dan Anton ramah, melambaikan tangan memanggil Bambang.

Bambang balas tersenyum kikuk. Ia ragu sejenak, namun kemudian memutuskan bergabung sebentar dengan kedua sahabatnya itu. Mereka mengobrol ringan, tertawa mengenang kisah-kisah lama mereka. 

Lama kelamaan, topik pembicaraan beralih pada kesibukan masing-masing. Badu dengan bangga bercerita tentang kemenangannya di meja poker beberapa waktu lalu. Sementara Anton bercerita panjang lebar tentang tips dan trik terbarunya dalam perjudian bola.

Bambang hanya tersenyum maklum mendengar celotehan kedua sahabatnya itu. Dalam hati timbul kerinduan samar pada adrenalin dan sensasi memabukkan dari dunia yang kerap membuatnya lupa waktu itu. Namun dengan segera ia mengenyahkan pikiran itu, sadar ke mana arah pembicaraan ini akan menggiringnya.

Ia terdiam, berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran pada kedua sahabat lamanya itu.

"Sebenarnya... Aku sudah berhenti berjudi," ujarnya lirih.

Badu dan Anton saling berpandangan, jelas terkejut mendengar pengakuan Bambang. 

"Berhenti? Maksudnya selamanya?" tanya Anton setengah tak percaya. Bambang mengangguk pelan.

"Tapi... Kenapa?" Badu ikut bertanya bingung. "Bukannya kau sangat menikmati sensasi berjudi? Apa yang membuatmu tiba-tiba berhenti?"

Bambang menarik napas panjang. Ia tahu, saatnya baginya jujur pada kedua sahabatnya itu.

"Aku sadar kecanduanku pada judi nyaris merusak keluargaku," terang Bambang. "Aku hampir kehilangan kepercayaan istri dan anak-anakku gara-gara itu. Jadi sekarang, kebahagiaan mereka adalah prioritas utamaku."

Badu dan Anton saling berpandangan lagi. Mereka jelas skeptis dengan keputusan drastis yang diambil Bambang itu.

"Yakin nih, Bang? Memangnya kau sanggup?" desak Badu. "Judi kan udah kayak candu buat elo. Gimana kalau nanti kambuh lagi? Sayang banget kalau bakat main elo berkarat, kan?"

Bambang menggeleng tegas. Ia sudah bulat dengan keputusannya ini. "Keluar dari perjudian adalah jalan satu-satunya buat gue memperbaiki keluarga gue. Gue yakin bisa melewati ini semua, apapun resikonya."

Anton menepuk pundak Bambang prihatin. "Ya udahlah kalau emang itu keputusan lo. Tapi kalo suatu saat kangen main lagi, pintu selalu terbuka buat lo di sini..."

Bambang tersenyum miris mendengar tawaran menggiurkan Anton. Meski begitu, ia yakin pilihannya kali ini sudah tepat. Kebahagiaan keluarganya jauh lebih berharga dibanding segala adrenalin dan uang kemenangan dari meja judi.

Pertemuan tak disengaja dengan Badu dan Anton sore itu mengingatkan Bambang pada masa-masa kelamnya. Meski kecanduan judinya selalu membuatnya kehilangan banyak hal, ia tak bisa memungkiri kerinduan samar untuk kembali merasakan adrenalin memabukkan dari meja-meja taruhan. 

Namun Bambang segera menguatkan hatinya. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri dan keluarganya untuk memulai lembaran baru. Apapun godaan yang menantinya di luar sana, Bambang yakin ia harus bertahan demi keutuhan rumah tangganya yang baru saja ia rebut kembali. 

Pertanyaan kini hinggap di benaknya: Seberapa kuatkah tekad Bambang untuk melawan dorongan dan godaan dari masa lalunya? Apakah pertaruhan besarnya kali ini akan berbuah manis dengan memperoleh kembali kepercayaan dan kasih sayang keluarganya? Atau justru kejatuhan tragis ke jurang kecanduan judi yang sama sekali tak bisa ditaklukkannya?

Posting Komentar

0 Komentar